Jumat, 27 Juli 2012

Saya Orang Batak

Beberapa waktu ini saya sering mendapat pertanyaan dari pasien asal suku saya. Entah kenapa mereka  kepo banget soal suku saya, tapi saya selalu menjawab dengan senyuman semanis madu (*hening..abaikan), "Saya orang Batak".

Sejak kecil terus terang saya kurang suka kalau teman-teman tahu saya orang batak. Batak identik dengan supir angkot, kasar, keras, pelit. Saya tidak suka tiba-tiba teman SD saya memanggil saya "Horas bah!" atau menambahkan awalan atau akhiran "bah" di setiap kalimatnya. Yah, memang tidak semua teman SD saya seperti itu, hanya beberapa teman yang jahil. Tapi saya, yang pada saat itu masih SD, tidak suka.

Papa saya batak, mama saya dari Solo. Papa saya Sihite. Mama saya sudah ditahbiskan sebagai bagian dari suku batak dengan diberi marga Hutabarat. Sebenarnya saya tidak jauh dengan budaya batak, saya sering diajak ke acara batak dan mendengar lagu-lagu batak. Saya juga diajarkan silsilah keluarga Sihite dan keturunan keberapa saya. Saya diajarkan untuk menghafal bagaimana saya memanggil mereka. Namun di satu sisi saya juga banyak dikenalkan dengan adat Jawa/Solo dari mama. Saya dilahirkan di Jakarta, bertumbuh, berkembang, bermain, bersekolah di Bekasi dan Jakarta. Saya tidak mengerti bahasa Batak karena di rumah tidak ada yang berbicara dengan bahasa Batak. Waktu kecil, kalau ditanya oleh teman atau guru saya mengenai suku saya, saya menjawab, "Jawa". Bukan karena saya bangga karena saya juga berdarah Jawa dari mama saya, tetapi lagi-lagi karena saya tidak suka dengan Batak.

Waktu saya kecil, saya sering diajak main ke rumah saudara-saudara papa. Sepupu saya sebagian besar laki-laki, saya juga tidak memiliki saudara perempuan, jadi saya bisa dibilang ingin dianggap setara atau sama kuat dengan abang-abang atau sepupu laki-laki saya. Waktu itu saya benci sekali ketika disuruh ikut ke dapur, mereka bilang "anak perempuan/boru harus bantu-bantu di dapur. Masa boru batak main di depan sama laki-laki, sana bantuin kakakmu di dapur." Hal ini berkali-kali dikatakan kepada saya setiap saya berkunjung ke rumah saudara-saudara papa. Sementara kalau saya berkunjung ke rumah saudara mama, saya bebas bermain, tidak harus membantu di dapur. Ini membuat saya berpikir bahwa orang batak nggak asik. Saya kesal karena mereka selalu menyuruh saya ke dapur, ini membuat saya berpikir bahwa orang batak merendahkan perempuan. Perempuan kerjanya di dapur, sementara laki-laki ongkang-ongkang kaki di depan. Ini pikiran masa kecil saya.

Beranjak remaja, hal seperti itu masih berulang. Hal lainnya adalah saya sering dibanding-bandingkan dengan anaknya keluarga batak "A", atau sepupu "B" yang sukses. Saya harus bisa lebih dari mereka. Sebenarnya hal ini baik kan? Kalau saat ini sih saya mengerti bahwa itu dilakukan orang tua saya supaya saya terdorong untuk maju. Tapi saya di masa remaja dulu merasa capek dengan hal ini. Saya lebih muak lagi jika ada keluarga yang membanggakan anaknya. Sebenarnya ini juga hal yang wajar ketika orangtua membanggakan anaknya kan? Saya pun sering sekali dibanggakan oleh orang tua, tetapi dalam kadar yang wajar, tidak sampai mencela orang lain. Kejadian-kejadian yang saya alami seringkali mengantarkan saya kepada kesimpulan bahwa orang batak memang dekat dengan kesombongan. Itulah yang masih saya tangkap sampai sekarang.  

Di masa SMA, saya sempat berkata pada diri saya sendiri kalau saya tidak akan pacaran dengan pria Batak. Semakin kuat rasanya ketidaksukaan saya pada batak. Saya sering menemukan orang batak yang merasa bahwa merekalah suku terbaik dengan persaudaraan yang sangat kuat. Menurut saya bangga tidak ada salahnya, tapi tidak berlebihan. Persaudaraan yang sangat kuat? Pengalaman saya mengatakan tidak juga. Tapi ini pengalaman pribadi saya saja, secara umum katanya sih iya. Saya belum pernah benar-benar merasakannya.

Mulai kuliah, saya bertemu dengan beberapa mahasiswa batak. Bergaul dengan beberapa dari mereka membuat saya bersyukur papa saya tidak pernah memaksa saya harus mencari jodoh yang sesuku alias Batak. Papa saya demokratis, mau mendengarkan pendapat anaknya dulu, tidak langsung memaksa atau mengkondisikan anaknya ke dalam perasaan bersalah karena berbeda pendapat dengan orang tua. Papa saya tidak pernah menunjukkan sifat kebatakan yang "angkuh" seperti yang saya sebutkan di atas. I love you, papa. 

Jadi begitulah, bertahun-tahun saya sulit mengakui kalau saya orang batak. Lucunya sodara-sodara, di masa kuliah ini saya malah bertemu dengan seorang pria batak! Dia berbeda dengan orang batak kebanyakan yang saya kenal. Dia sangat humble, sangat halus ucapan dan perasaannya, dan tidak suka memaksa. Awalnya saya tidak berminat ketika saya tahu dia mulai mendekati saya. Anyway, saya orangnya murah senyum lebaarrr dan tertawa, sering membuat ge'er beberapa pria. Saya suka berteman. Jadi, saya biarkan dia mengenal saya dulu, jalan bareng, olahraga bareng. Saya suka olahraga, jadi begitu diajak joging bareng, saya senang karena ada teman joging. Awalnya cuma itu, tapi ternyata tanpa saya sadari, saya mulai tertarik dengannya. Dia berbeda dengan batak di mindset saya sebelumnya. Saya yang dulu tidak ingin punya pacar batak, sekarang malah pacaran dengan orang batak selama hampir 6,5 tahun. Psstttt, orang batak itu setia juga loh. Nah, mulai dari sinilah saya mau mulai belajar lagi tentang budaya batak.

Saya mulai menyadari bahwa biar bagaimanapun darah batak mengalir deras dalam diri saya. Saya tidak bisa  menyangkal itu. Di masa kuliah saya mulai banyak belajar istilah-istilah batak, berteman dengan banyak orang batak, sampai makan makanan batak! Ya, saya tidak suka sangsang, arsik ikan mas, panggang. Tapi di acara persekutuan mahasiswa batak dulu entah mengapa saya tergoda ingin mencoba sangsang. Walau sampai sekarang saya masih belum menyukai sangsang, setidaknya saya pernah berhasil makan sangsangnya sedikit tanpa saya muntahkan lagi! Walau masih banyak saya menemukan karakter-karakter batak yang angkuh, walau sering saya tidak setuju dengan sifat merasa-paling-benar beberapa dari mereka, tapi anehnya saya menikmati saja berteman dengan mereka. Bagaimanapun juga, saya harus bangga menjadi orang batak. Saya bangga dengan kebudayaannya, walaupun ada beberapa adatnya yang saya tidak setuju karena bertentangan dengan keyakinan Kristen, tapi adat yang bertentangan tersebut sudah mulai ditinggalkan. Saya cukup bangga dengan integritas mereka untuk tetap melestarikan budaya batak. Karena budaya itu nilainya mahal sodara-sodara. Negara ini sudah cukup terpuruk dengan berbagai permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan agama. Jangan sampai kebudayaan ini hilang di tangan generasi baru seperti saya. Bangsa lain tertarik dengan budaya di Indonesia. Kenapa kita nggak? Hingga saat ini, saya memutuskan untuk bangga menyatakan, "Saya orang Batak."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar