Sabtu, 09 Maret 2013

Edisi perenungan puisi "Aku ingin"

Tulisan ini saya buat dalam perjalanan menuju kota Semarang, dalam keadaan mengantuk karena lelah setelah berlari-lari di sore yang cerah mengejar kereta yang akhirnya meninggalkan saya pergi begitu saja dengan teganya. Setelah menembus kemacetan ibu kota yang kejam seperti ibu tiri dengan ojek, tepat begitu masuk pintu gerbang stasiun Gambir, saya melihat ke atas dan kereta saya pergi meninggalkan stasiun Gambir. Lalu saya pun "dadah-dadah" dengan hati gembira. #Maaf, afek tidak serasi. Lalu dengan langkah gontai ( ini yang sebenarnya ) saya dituntun oleh petugas stasiun ke Customer service. Petugas CS dengan kejamnya menyatakan tiket saya hangus! Dan saya harus ke senen jika ingin melanjutkan perjalanan ke semarang, naik kereta Senja Utama Semarang pukul 19.10 yang pada kenyataannya kereta baru berangkat pukul 20.00! Bok, kenapa sih argo ga telat aja. Huft!

Sedari pagi saya merenungkan puisi "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono. Sering dengar atau baca kan? Saya bukan pecinta puisi, membaca puisi hanya sekedar baca tanpa merenungkan maknanya lebih dalam. Mungkin saja karena bawaan orang mau nikah saya berubah jadi puitis. Heheee...Selama ini jujur aja saya kira ini puisi dari Kahlil Gibran. Tapi ternyata bukan! Ini karya asli dari sastrawan ternama kita, Bapak Sapardi Djoko Damono. Maaf Pak, selama ini saya telah salah sangka. Bagi yang belum pernah membaca atau lupa, begini syair puisinya.


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mecintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Ketika melihat baris pertama dari puisi ini, "Aku mencintaimu dengan sederhana", saya merasa ungkapan ini langsung menggambarkan sebuah perasaan cinta yang tulus dari seseorang kepada kekasihnya. Tetapi baris selanjutnya membuat saya tergoda untuk menggali makna puisi ini lebih dalam. Kenapa penyair ini mengungkapkan kesederhanaan ini justru dengan ungkapan yang menurut saya tidak sederhana? Kenapa pada kedua baitnya kesederhanaan itu diungkapkan dengan suatu ketiadaan. Ah, memang puisi ini untuk orang-orang yang suka merenungkan sebuah makna secara dalam. Tetapi lucu juga, saya yang bukan tipe seperti itu pun ikut terhanyut dalam puisi ini. Menurut tafsiran saya, penyair ingin menggambarkan sebuah cinta yang tampak sederhana, tulus tidak mengharapkan apa-apa selain yang terbaik untuk kekasihnya. Rela mengorbankan dirinya demi kelanjutan hidup orang yang dicintainya. Tapi kenapa digambarkan juga dengan "kata yang tak sempat diucapkan" dan dengan "isyarat yang tak sempat disampaikan"? Saya jadi penasaran, sedang dalam keadaan bagaimana kah sang penyair menulis puisi ini. Apakah perasaan cinta yang tulus ini tak sempat disampaikan atau masih dipendam? Ataukah sang penyair bermaksud mengungkapkan bahwa cinta yang tulus hanya bisa diungkapkan dengan bukti nyata dari pengorbanannya?

Dari perenungan saya sendiri yang sangat dalam tentang puisi ini, akhirnya saya memutuskan untuk memasukkan puisi yang melegenda ini ke undangan. Sedih juga ya kalau undangan umurnya pendek dan berakhir di tempat sampah, padahal undangan saya ini setelah melalui perenungan yang cukup dalam. #Tsaaahhhh



Tidak ada komentar:

Posting Komentar